Dari Unyil, Gundala sampai Maximus dan Rambo.
Baru saja berkunjung ke Galeri Nasional Medan Merdeka Timur, ada Jakarta Video Festival 2005 yang bertajuk Sub/Version. Memang sengaja singgah ke sana sepulang rutinitas yang belenggu waktu 8 hingga 5 sore. Agak lucu juga waktu tiba, ternyata pintu putih besar galeri tua itu masih dalam keadaan tertutup, 'jam setengah tujuh baru mulai buka lagi mas', papar si mbak yang berjaga di meja depan. Iya juga, selain memang datang terlalu awal (sekitar jam 18.00-jadwal pameran buka kembali pkl. 18.30) aku ternyata malah merasa memang seperti mas mas, seperti panggilan si mbak tadi. Hmm.. apa karena kemeja putih celana hitam yang--walau sudah sembunyi di balik denim biru tetap saja terlihat--kupakai membuat aku seperti out of place di kerumunan dreadlocks dan jeans belel mereka? hehehehe, maaf seragam kuli uang ini memang agak membuat risih. Tak peduli sehari-hari aku memegang perhitungan juta hingga miliar tetap saja penampilan ini penampilan Sari Bundo yang dulu pernah kutertawakan keras keras sambil minum jus dan ayam pop di Titimplik. kemeja panjang putih dan celana hitam karyawan. Ternyata karma balik menertawakan aku. Hehehehe :D
Akhirnya sebelum pintu putih besar itu dibuka, aku sempatkan diri kitari halaman galeri tua tersebut, dan iseng makan mie ayam di pinggir jalan merdeka timur di samping pagar galeri. Dan tiba-tiba inget tokoh boneka Si Unyil setelah ngeliat sekitar ditambah serpihan memori tadi siang kala baca berita di salah satu mingguan. Tulisnya, Unyil dan PPFN dapat dikategorikan mati suri (ini bahasa saya :) ), bahkan tokoh masa kecil ini sedang dirancang bangun ulang untuk versi modern-nya, minus peci dan sarung, ikut trend sekarang katanya. Turut dicantumkan bahwa Unyil akan hadir dalam versi manusia. Dan muncullah itu kerut-kerut di muka ini, kesian bener, demi sebuah alasan trend lalu mengubah identitas. Opini yang mengendap di kepala seketika berhamburan, aku rasa Unyil adalah contoh potret kultur masyarakat kita dalam sebuah seni boneka tangan, yang walaupun dipermak sedemikian idealnya tapi tetap menitikberatkan pada; oh ini lho budaya indonesia itu. Plus peci dan sarung tentunya, sebagai simbol kerendahan hati dan kesederhanaan yang patut dijunjung tinggi. Bahkan dua hal ini modal utama dan sumber utama kunci kreatif yang dibutuhkan para kreatornya untuk bisa menentang arus trend masyarakat modern indonesia. Lupakan trend, jangan terombang ambing ombaknya, mengapa tidak beranikan diri menggagas sesuatu yang orisinal? mengapa tidak mencoba berjuang dengan minim dana dan minim gerak? aku yakin kreativitas akan juga dapat tumbuh subur pada mereka yang notabene terjepit pada sedikit pilihan. Jangan terguncang arus trend, sebaliknya ciptakan trend, jangan terpaku pada minimnya dana, sebaliknya ciptakan karya hasil dari hati, bukan melulu mengejar segumpal profit. Dan aku perhatikan lagi spanduk yang berkibar di halaman Galeri Nasional. Sub/Versi. Ini juga salah satu bentuk 'orisinalitas' karya yang memerlukan pemahaman yang dalam.
Pintu putih besar itu pun terbuka untuk umum. Aku masuk dengan buklet kujepit di temali bagpack. Karya-karya yang hebat dan menggugah. Semua mempertanyakan orisinalitas dan piracy related issues. Satu demi satu layar kukunjungi dan kucoba hisap maknanya. Ya, kepalaku sejalan dengan pemikiran sebagian besar mereka. Seperti alinea mereka bahwa sesungguhnya, adakah yang benar-benar asli dalam sebuah karya seni? Dirangkumkan bahwa semua hal yang fana bersifat tiruan, jiplakan dan cetakan dari semua yang ada di seluruh jagat. Dari kesemua pola yang ada dapat dilahirkan pola-pola baru yang menampilkan 'orisinalitas' baru yang juga mampu 'bicara' seperti pola cetakannya terdahulu, entah memori terpendam, inspirasi, hingga kutipan.
Aku jadi teringat Pak Hasmi, sang kreator Gundala yang legendaris itu. Beberapa minggu lalu sempat berburu signature-nya ketika buku pertama 'putera petir'nya itu diluncurkan ulang kembali. Dalam forum itu dijelaskan sekian deret pengaruh yang membasahi memori beliau dan tangan beliau sehingga tergoreslah 'pola cetakan' baru Gundala dari 'pola cetakan' awal Flash-nya DC Comics. Berawal dari sebuah trend, dikreasikan trend baru yang sesuai dengan serapan budaya lokal, jadilah kualitas Gundala yang mampu menyedot pembaca komik hingga 1982 (Gundala terbit pertama kali thn 1969). Orisinal atau bukan? Piracy atau bukan? Karya besar atau bukan? Dan semua kualitas itu terjawab segar antusias oleh pembaca sebagai satu karya legendaris bumi Indonesia. :) Dan lagi-lagi, sebagai pencinta Gundala sebagai salah satu pelopor komik kepahlawanan lokal, saya beropini bahwa orisinalitas tidaklah bersifat baku, ia bersifat likuid, dapat diserap, dihirup siapa saja, bersifat open source bagi publik, lagi-lagi untuk menelurkan karya baru yang juga dapat menampilkan orisinalitas baru yang berkualitas.
Lalu di ruang terdepan dalam galeri aku saksikan Rambo tunggang langgang di deru senapan, mortir dan rudal invasi asing di Afghanistan. Bahkan Rambo yang berotot gawat itu tidak bisa menghindar dari sub/versi film racikan terbaru pembuatnya. Versi baru dimulai. Orisinalitas baru dibuat. Bukan mencuri menurut saya, tontonan mulai menjadi ruang publik sekarang, penokohan dan trend juga milik publik. Dimanfaatkanlah ia dengan mengaduk sebuah trend untuk mencapai pemahaman penonton. Muncullah makna baru. 'Ooh begitu ternyata'. Serupa dengan Maximus sang Gladiator yang menghunuskan pedang dalam arena untuk lawan yang tidak ada. Tampak absurd memang. Tapi disitulah jawabannya. Ikuti trend bukan untuk ikut terhempas di samuderanya. Tapi dari titik trend itulah seseorang akan dapat menciptakan dan menafsirkan trend yang lain lagi. Meminjam inspirasinya, menajamkan ideanya, jadilah karya baru yang lebih diidolakan. Bukan tidak berani berubah, tapi berani inovatif, itu lebih utama.
Hari sudah malam, lebih baik pulang ke rumah. Esok masih harus menghitung data keuangan seorang pemohon kredit. Lain kali kunjungi lagi Sub/versi, aku belum cicipi bantal-bantalnya yang menggoda di karpet merah ruang tengah Galeri. :)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home