1811=simply.cant.get.any.more.ideas.on.how.to.name.this.blog.

26.10.06

Lebaran Kembar

"oi, lebaran ikut kapan? senni atow selasa?"

"jadi kapan nih lebarannya? ikut yang mana ya?"

"..oo elo muhammadiyah ya ikut senen?"

"..emang tuh muhammadiyah pada ngotot2 amat yak, orang mah pada selasa, dia tetep aja senen.."

"gue ikut ulil amri aja men (para pemimpin), jadinya selasa.."

"gue ikut pemerintah aja.. lebih sah kayaknya"

"lagi ngapain juga pemerintah ngatur2 gituan ya.."



Itu sebagian dari celetukan di sekeliling gue pra lebaran kemarin.. :) tapi btw, sebelumnya, Mohon Maaf Lahir Bathin buat semua... Minal Aidin wal Faidzin, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 H :)) dan selamt berlibur buat yang tidak ikut merayakannya :D

Yup. Tahun ini terjadi lagi fenomena Lebaran Kembar dalam setahun di Indonesia. Setelah sebelumnya pernah juga terjadi di tahun 1998 lalu. Dan nanti di bawah gue mao sedikit beri kutipan, sedikit uraian tentang fenomena Lebaran Kembar ini.

Tapi sebelumnya gue juga ingin sedikit melayangkan protes buat semua komentar2 masyarakat tak terkecuali siapapun juga mengenai fenomena tersebut. Kadang jadi suka tersenyum2 sendiri ngeliat betapa tidak dewasanya kita menghadapi semua ini. Tidak siap menghadapi dan menghandle perbedaan. Perbedaan? yup! perbedaan di kanan kiri depan belakang kita. Perbedaan yang sudah digariskan ada dari sananya. Entah dalam hal apapun juga. Mulai dari perbedaan suku, ras, agama yang beda, hingga pendapat dan cara pandang beda dari tiap individu. Basisnya sih selalu kembali ke satu titik. Bahwa masing-masing maunya berpijak ke pihak yang selalu benar. Dan membuka kemungkinan bahwa pihak lain di luar dirinyalah yang selalu salah. Hmm... betulkah begitu?

Oke, satu titik saja. Perbedaan hitungan Lebaran. Wajar. Mengapa? Ada hadisnya yang kuat. Ditafsirkan juga sama kuat. Dijalani juga dengan sangat bagi masing2 pihak yang bertanggungjawab dengan alasan2 yang kuat juga. Lalu apakah perlu ada pendapat: "... wah ini bakal bikin perpecahan" ... "...elo kali ini ikut aliran yang mana?"

Gue rasa opini2 negatif seperti ini perlu dieliminir kalo memang tujuan hidupnya mencari hidup vertikal-horisontal yang baik. Perbedaan itu ada bukan untuk dinegasikan, tetapi untuk didekati, dikenali dan ditoleransikan. Banyak kok bukti2 ilahiyah yang merujuk untuk hidup serba baik. Seperti misal, 'Kamu Kami ciptakan berbeda2 jenis supaya saling mengenal...' (lupa detailnya)... Jadi what's the point dari semua perbedaan yang apapun bentuknya itu? Yaitu adalah supaya kita DAPAT SALING MENGENAL, DAPAT BELAJAR... Iqra!! Bacalah!!! Belajar!!!!! kalo takut ular jangan terus lari darinya, pelajari, kenali seluk beluknya tentangnya baru kita tau alasan mengapa kita harus lari dari ular tersebut... atau alasan mengapa baiknya kita tangkap dan dipelajari lebih jauh untuk diambil bahan medisinal-nya... itu kan juga masuk di akal :)

Lalu mengapa aliran? Muhammadiyah dan NU? lalu ada pula Pemerintah... hmm... bangsa ini sudah terasuki dengan asupan2 ketakutan atas aliran... mengapa bisa? karena kurangnya komunikasi yang baik dan lancar atas berbagai perbedaan yang muncul dari segala apapun juga... Gue kok kurang setuju bila dua organisasi massa tersebut disebut sebagai aliran... dua2nya sama kok, ajarannya sama, hanya beda dalam beberapa penafsiran dan rujukan... lalu apa namanya? mungkin memang lebih pas bila dikembalikan ke asalnya, bahwa keduanya adalah ORMAS... seyogyanya memberi petunjuk dan aturan2 bagi massa2 yang berada di akar rumput organisasinya. Ormas bukan aliran...penyikapannya juga niscayanya juga musti dengan sikap positif yang mendukung dan membangun.. bukan menjatuhkan satu sama lain... karena pastinya keduanya bertujuan sama: membangun umat. Umat yang mana? Umat Islam tentunya... di situ point-nya.

Lalu apa kaitannya dengan Lebaran kemarin? oke, 1 Syawal berbeda dalam hitungan hari antar dua Ormas tadi. Mengapa? karena keduanya mempunya ahli2 khusus yang mempunyai rujukan berbeda dalam penghitungan penanggalan Islam. Rukyah dan Hisab. Rukyah atau Rukyah Hilal didasarkan pada penglihatan mata telanjang terhadap bulan. Dan Hisab berdasarkan perhitungan astronomi, hitungan hari. Para ahli dalam Ormas Muhammadiyah mempercayai hitungan Hisab sebagi penentu tanggalan dan Ormas NU mempercayai hilal untuk menentukan 1 Syawal.

Untuk selanjutnya gue mau kutip beberapa paragraf dari satu situs yang menjelaskan ttg hitungan2 ini: (lupa nama situsnya)

Apabila kita telusuri, pangkal dari munculnya fenomena Lebaran Kembar, khususnya di Indonesia, tiada lain berawal dari perbedaan di dalam menyikapi hadits Nabi SAW yang berbunyi: Apabila kamu sekalian melihat hilal, maka berpuasalah, dan apabila kamu sekalian melihat hilal, maka berlebaranlah, tapi apabila kamu sekalian terhalang, maka hitunglah! (H.R. Bukhari-Muslim)

Dari ke-multiinterpretable-an hadits tersebut, mengakibatkan lahirnya tiga pola penafsiran tentang cara penentuan awal bulan qamariyah, Pertama; Harus berdasarkan rukyah hilal (melihat hilal) secara mutlak, Kedua; Ketika langit cerah harus dengan rukyah, dan ketika langit mendung harus dengan 'hitunglah', Ketiga; Kedua cara tersebut dapat dipakai secara bersamaan dengan tanpa saling menafikan satu sama lain, bahkan harus dijadikan sebuah sinergi positif.

Demikian pula dari ketidakjelasan (ghayr sharih) term 'hitunglah' (faqdluruu) itu telah memunculkan dua arus pemahaman, yaitu: Pertama; Hitunglah dengan cara menjadikan bilangan bulan 29 hari (pendapat I. Ahmad, dll), Kedua; Hitunglah dengan cara menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari (pendapat mayoritas), Kedua; Hitunglah berdasarkan perhitungan astronomi (falak). Walaupun menurut Ibn Hajar al `Asqalaniy, eksistensi model pemahaman kedua lebih kuat (rajih) karena berasaskan penafsiran hadits dengan hadits, namun tidak sediki ulama yang memiliki kecenderungan ke arah model pemahaman kedua, di antaranya al Subkiy, Ibn Surayj, Ibn Maqatil dan Rasyid Ridla dalam al Manar­-nya.

Implikasi dari hal-hal tersebut adalah munculnya tiga madzhab dalam menentukan awal bulan qamariyah, yaitu: Pertama; Madzhab Rukyah, Kedua; Madzhab Hisab, dan Ketiga; Madzhab Kolaborasi. Apabila menurut madzhab rukyah, menentukan awal bulan qamariyah harus berdasarkan rukyah hilal, dan menurut madzhab hisab harus berdasarkan hisab astronomi yang minimal sudah memenuhi kriteria wujud al hilal (konjungsi terjadi sebelum terbenam matahari dan hilal positif di atas ufuk pada saat matahari terbenam), maka menurut madzhab kolaborasi, menentukan awal seluruh bulan qamariyah harus berdasarkan rukyah hilal dengan mempertimbangkan aspek hisab astronomi.

Dalam aturan madzhab kolaborasi, laporan terlihatnya hilal harus ditolak apabila secara visibility (imkan al ru`yah), hilal tidak mungkin dapat dirukyah. Secara teori, kebijakan-kebijakan dalam madzhab kolaborasi ternyata sesuai dengan resolusi yang dihasilkan dalam Konferensi Ketiga Majma al Buhuts al Islamiy yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1966 - 27 Oktober 1966 di al Azhar, Kairo, melalui presentasi ahli hukum al Syaikh Muhammad Ali al Sayis. Juga sesuai dengan resolusi yang dihasilkan dalam Konferensi Astronomi Islam Kedua dengan tema Aplikasi Astronomi dalam Syari`at Islam yang diselenggarakan di Amman, Yordania pada tanggal 29-31 Oktober 2001, yang diikuti oleh 44 ulama dan ahli astronomi Islam dari 18 negara.

Dalam resolusi Konferensi Majma al Buhuts al Islamiy, pasal ketiga, butir pertama, dinyatakan bahwa: 'Sesungguhnya Rukyah Hilal adalah pokok untuk mengetahui dimulainya seluruh bulan qamariyah sesuai dengan hadits yang mulia'. Demikian pula dalam resolusi Konferensi Astronomi, butir kedelapan dinyatakan bahwa penentuan awal seluruh bulan qamariyah (bukan hanya Ramadlan, Syawal dan Dzul Hijjah) diputuskan berdasarkan rukyah hilal atas pertimbangan hisab astronomi. Dan pada butir kelima dinyatakan bahwa laporan terlihatnya hilal harus ditolak apabila tidak sesuai dengan syarat imkan al ru`yah.

Adapun kriteria visibilitas hilal yang saat ini digunakan secara umum oleh negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura, adalah kriteria yang dibuat pada pertemuan tidak resmi para Menteri Agama negara bersangkutan (MABIMS) tahun 1992, yaitu:

a. Tinggi hilal (irtifa` al hilal/altitude), minimal 2º di atas horizon.

b. Jarak sudut Matahari dan Bulan (qaws al nur/elongasi), minimal 3º.

c. Usia bulan (`umr al qamar/moon age) dihitung sejak saat konjungsi sampai terbenam matahari, minimal 8 jam.

Pada tataran konsep, sebenarnya madzhab kolaborasi bertujuan untuk meminimalisir perbedaan mencolok antara madzhab rukyah dan madzhab hisab di dalam menentukan awal bulan qamariyah, namun pada tataran praktis, ternyata hal tersebut sulit untuk diharapkan.

Dikarenakan fakta perbedaan di dalam menentukan awal bulan qamariyah tersebut tidak bisa dihindari, maka yang menjadi korbannya adalah masyarakat awam. Mereka kebingungan untuk menentukan pilihan hendak mengikuti pendapat yang mana? Akhirnya mereka mengambil sikap dengan cara yang sangat praktis dan menurutnya relatif aman, yaitu dengan mengikuti pengumuman penentuan dari Kerajaan Saudi Arabia (KSA), terutama dalam penentuan hari raya Iedul Adha.

Mereka merasa lebih nyaman dengan mengekor kepada KSA yang nota benenya sebagai kiblat umat Islam sedunia. Hal tersebut diperkuat dengan adanya stimulus dari para pimpinan salah satu Partai Islam melalui website-nya (syariahonline.com). Dalam website tersebut mereka menyerukan untuk mengikuti keputusan dari Makkah, apabila terdapat perbedaan antara penetapan Pemerintah Indonesia dengan penetapan KSA (padahal ulama terkemuka KSA Syaikh Mohammad Ibn Salih Al Uthaimeen dan Syaikh Muhammad Taqi Utsmani (Pakistan) memberikan fatwa untuk menentukan awal bulan qamariyah termasuk Dzul Hijjah sesuai dengan rukyah hilal di negara sendiri -local sighting/ikhtilaf al mathali`-, dengan tidak usah mengindahkan penetapan KSA).



--akhir kutipan--

Lalu, kapan ber-Lebaran? baiknya kembali ke kesadaran diri sendiri masing2.. dengan fakta seperti di atas, akankah kita masih terus hanya mengekor tanpa tau yang di-ekor-i? Makna perbedaan seperti kemarin adalah kita mustinya jadi kepingin lebih mendalami apa yang kita anut, apa yang kita jalani, dan apa yang kita percaya.. Seyogyanya kita bisa lebih arif dalam ber keputusan... bisa memilih apa yang baik bagi dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain... Teori dan fakta sudah dipaparkan di depan mata anda... para pemimpin ulama yang anda percaya juga sudah menentukan pilihannya masing2... lalu akankah anda masih terperangkap di ekor2 tanpa tau arah tujuan? akankah kita masih terperangkap di stereotipe2 golongan dan aliran? Bisakah hidup lebih rukun dengan lebih banyak berpikir positif dan meminggirkan sifat negatif? Ataukah memang ini pertanda perpecahan? bahwa Muhammadiyah telanjur lekat dengan stereotipe-nya sendiri dan Nu dengan miliknya sendiri? lalu bagaimana dengan NU Jawa Timur yang juga ber Lebaran di hari Senin? hari yang sama dengan Muhammadiyah? Lalu dengan Persis yang selama ini selalu berbarengan dengan Muhammdiyah tapi tahun ini memilih Selasa sebagai Hari ber-Lebaran-nya?

Hmm.... ataukah memang khilafah masih menjadi opsi pasti untuk persatuan semua umat?

Hanya merek yang berpikir dapat menentukan jawabnya untuk kebaikan dirinya masing2 ... :))


Selamat Ber-Lebaran!!! :))

0 Comments:

Post a Comment

<< Home