Bukan. Bukan soulmate yang film kemarin itu. Yang ada Dian Sastro dan yang lain lain itu. Tapi soulmate yang biasanya keucap ama satu orang terhadap orang lain. Misal,
‘Dia tuh soulmate gue ... ‘.
Gak ada juga yang bisa salahin ucapan itu. Toh pada riilnya, kata soulmate sendiri sampai kini lebih sering diartikan dalam penokohan sebuah obyek oleh sebuah subyek. Semua titiknya bermuara dari ‘saya’. Ego bicara. Misal;
‘dia kayaknya soulmate gue deh .. bla bla ‘
‘dia itu soulmate gue, dia kan blu blu blu ‘
‘dia pastinya soulmate gue, gue yakin betul itu bli bli bli ‘
yah, sulit juga kalo udah menangin ego mah. Semuanya dimulai dari kata dia, diucapin ama diri sendiri. Atau dibalik seperti ini;
‘gue tuh soulmate dia kayaknya .. ble ble ble ‘
‘gue kan soulmatenya elo, tau gak lo ... blo blo blo ‘
Jadi keenakan berendam di bak yang sama. Sebenernya gimana sih soulmate itu?
Dari pengalaman mendengar gue yang lalu, orang akan bicarakan hal ini setelah menemukan satu dua atau lebih perihal kesamaan dirinya terhadap orang lain - si obyek soulmate itu. Misal;
‘dari muka, hobi ampe gerak gerik dia mirip ama gue, pastinya dia soulmate gue’
‘dia itu soulmate gue, gue yakin itu, kerasa banget auranya’
‘pulpen gue mirip ama punya dia, kita soulmate kayaknya’
dahsyat ya ternyata pengharapan seseorang terhadap ‘kemiripan-kemiripan’ dirinya yang nempel di orang lain. Dan memang pantas bila gue pribadi nyebut ini sudah menjadi sangat wajar dan tentu. Manusia adalah mahluk pencermin. Senang lihat cermin. Mematut matut diri. Patut gak ya. Juga senang mantul-mantulin bayangan dirinya ke orang lain, obyek lain, bahkan benda-benda lain, agar tampak seperti dirinya.
Misal begini, ada juga teori yang bilang, hewan peliharaan seseorang yang udah tinggal lama ama tuannya maka raut muka tuan dan hewan juga akan ada kemiripan. Ini betulan ada yang ngerumusin, tapi gue lupa dimana dan siapa. Itu kan nyari cermin namanya. Atau begini, kenapa mobil dikasih dua lampu kayak mata. Atau steker listrik, kenapa desainnya juga seperti mata orang, itu kan lebih kepada memanusiakan benda2 di sekeliling kita. Bikin cermin.
Oke, balik ke atas karena makin gak nyambung hehe. Gue bahkan pernah kenal seseorang yang selama hidupnya berpacaran mencari dan menyatakan bahwa ‘pacarku ini adalah soulmate gue’. Dan hobinya ganti ganti pacar. Tujuan sih mulia. Nyari soulmate. Jabatan itu juga mungkin udah dikasih ke siapa aja. Atau bahkan malah disimpen2 sampe nemuin yang pas dikasih jabatan diakhir cerita nanti. Tapi niatnya jadi kecampur aduk ama ego. Soulmate yang dicari cari gak bakal ketemu kalo cuma berhenti sampe di lidah.
Karena menurut gue, makna soulmate ada di ACT. Bertindak. Bukan cuma di harapan. Bukan cuma sekedar memandang-mandang dan mengklaim bahwa ini adalah soulmate gue. Maksudnya? Oke, begini. Soulmate itu mungkin lebih diperdalam menjadi suatu KESEJATIAN. Apa itu? Artinya mungkin ... mm, ‘yang pasti pasti aja deh’ .. atau ‘segala hal yang laiknya abadi’ atau mungkin juga ‘satu kesatuan tak terpisahkan yang membentuk sebuah fungsi dan dalam tempo yang selama-lamanya’. Itu artian dari gue lho hehehehe.
Soulmate dalam percintaan (gue geli gini nulisnya hehehe). Gue pasangin dengan kata ACT. Menurut gue, lebih tepat jika label soulmate muncul setelah ‘kepastian’ itu datang. Apa itu kepastian? Mm, apa sih pacaran? Apa tujuannya? Wah ini menjadi luas. Menurut gue, pacaran yang ada sekarang itu bisa diartikan sebagai sebuah proses coba-coba menjadi atau mencari (ingat: MENJADI sangat beda makna dengan MENCARI) pasangan yang layak.
Proses coba-coba. Proses belajar. Belajar itu banyak cara. Ada yang tidak kenal lelah dalam satu mata pelajaran terus menerus dicoba sampai berhasil (dalam suatu hubungan ada yang gak kenal nyerah nyoba terus hubungannya supaya tetep jalan), ada yang dalam satu pelajaran juga gak kenal lelah nyoba nyari-nyari mata pelajaran yang paling cocok buat dia (trial and error), juga ada yang dicoba campur dua2nya, tapi akhirnya lebih terjerumus ke pilihan kedua. Atau juga malah ada yang belajar cuma buat seneng2, dapet kenalan banyak, lalu main kesana kemari, eksplorer gitu lah. Karena seperti nyatanya, pacaran itu adalah sebuah proses. Proses mencari si sejati itu. Yang secara sadar kita udah beri jarak sedari dini. Yaitu pernikahan. Rel yang totally paling bener buat hal yang lagi dibicarain sekarang. Paradoks banget. Satu sisi asik rasanya ber-proses mencari si sejati. Tapi sisi lain kita sering takut atau menjauhkan titik sejati itu (nikah) di tujuan akhir yang musti gimana gimini. Padahal modalnya cuma niat. Bukan ngentengin, tapi sepertinya malah sebagian besar orang yang secara gak sengaja membuat susah jalannya sendiri mencari si sejati itu.
Pernikahan sebagai hal mulia udah mulai bergeser jadi sesuatu yang diakhir. Padahal seyogyanya, pernikahan itu adalah sebuah awal. Awal untuk berkembang. Manusia sebagai mahluk sosial akan lebih dahsyat perkembangannya kalo dia tidak sendiri dan punya partner. Orang kerap lupa tujuan akhir pacaran. Banyak yang jadi culun gara2 masalah hati. Banyak yang lost gara-gara pengharapan yang gede banget ama pasangan dan akhirnya kelabakan karena si soulmate ternyata tidak se-soulmate yang dia kira. Tidak sesuai. Tidak cocok. Tidak sehati. Tidak mirip. Tidak pas untuk memantulkan bayangan dirinya ke situ. So? Pacaran aja ama cermin. Hehehe.
Ada yang bertahun tahun mengejar ngejar pujaan hati yang sama padahal si pujaan hati sudah enak menggandeng orang lain. Masing masing tokoh di dalamnya pasti berpikir mencari soulmate yang sejati itu. Tapi sudah ketemu belum? Ya jawabannya masih di ujung sana, hehe. Ada yang berabad abad menggandeng pasangan tapi di ujung ujung cuma ada kata pisah dan yipeee besoknya udah gandeng lagi yang baru sambil bilang ‘yea, ini soulmate gue, baru ketemu di sana’. Wah murah banget maknanya. Ada juga yang rajin mengumpulkan memori2 bahwa, ‘Aku dan dia itu sangat cocok sekali. Hobi kita sama. Gaya kita sama. Pokonya sama semua lah. Kalo jauh dan lagi sedih pasti ngerasa deh’. Yah, banyak sekali lah perumpamaan seperti itu.
Bahkan gue pribadi pernah panjang angan kayak begitu. Lalu cuma bisa sadar bahwa itu cuma bisa jadi lucu2an. Karena yang diomongin gak beda makna ama yang judulnya ‘koinsiden’. KEBETULAN. Misal begini, dulu pernah mikir2, ‘kok kenapa juga ya, kalo deket ama cewek rata2 nama belakangnya lestari? Atau tari? Atau malah lebih sempitnya semua berakhiran i?? Hampir semua malah,’ itu aneh menurut gue. Karena gue sempet berpikiran, jangan jangan ini jadi clue nanti soulmate gue juga gak jauh2 dari situ. Atau begini,’gila, gue ama dia beli es cokelat rasa yang sama, merk yang sama, padahal kita beda jauh beda kota.’ Fun pas tau ada kejadian ini?? Yo pastinya, hehehehe, romantika kerasa lah. Atau malah seperti kejadian lucu ketika gue punya benda2 sama dengan seorang lawan jenis, mulai dari kacamata yang serupa, model celana yang serupa, suaka barang yang serupa atau bahkan hingga cara nulis yang serupa. Apakah itu bisa disebut soulmate?? Walau bukan pacaran?? Mungkin akan kerasa beda kalo kejadian2 tadi terjadi pada pasangan yang lagi menghirup bunga2 berpacaran. So pasti kemiripan2 tadi akan ditindak lanjuti dengan pemikiran ‘soulmates, we are’. So simpel ya. Yet so confusing. Tapi udah jadi suatu yang wajar dipikirkan. Bahkan gue baru inget, kalo pernah ada yang bilang bahwa soulmate gak cuma ada pada pasangan cowok cewek aja, tapi juga bisa antar teman yang sejenis. Hmmm. Luas banget. Sempitin aja lah.
ACT. Semua kemiripan-kemiripan tadi gak ada gunanya kalo gak bertindak. Maksudnya? Soulmate itu gak dikasih begitu aja. KITA JUGA BERPERAN BESAR DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN ITU. Dengan persetujuan Tuhan tentunya, hehehe. Permisalan paling pas; gue kenal A. Gue sama dia merasa cocok (cocok juga double meaning, bisa kesamaan sifat -sama lagi?- atau juga beda sifat yang saling mengisi). Saling mengenal. Pacaran. Lalu menikah. Baru nyamanlah itu kata soulmate dikeluarkan dari kekangnya. ‘Semoga kita soulmate ya, sampai akhir, selama-lamanya.’ Dan 100% yakinlah, bahwa teori tuan dan hewan peliharaan akan mirip muka juga berlaku terhadap pasangan yang sudah berjalan dalam rel yang benar, hidup damai penuh tangis maupun tawa, penuh keterbukaan dan ketertutupan yang dijadag bareng, kebersamaan walau lagi gak sama-sama, saling memberi juga menerima. Dan temuilah bahwa pada suatu saat nanti akan ada orang yang berkata kepada pasangan tersebut, ‘wah muka kalian mirip ya...’ padahal yang satu mancung, yang satu pesek, atau ‘wah kalian kompak banget, tingkah laku juga serupa’. Itu sudah pasti. Karena lama hidup bersama mengakibatkan pengaruh yang cepat menjalar dan nempel di otak membentuk pola baru terhadap masing masing individu. Dua jadi satu.
Cuma sangat disayangkan juga, perihal diatas tentang rel yang indah tersebut udah dipinggirkan oleh kita kita sendiri. Takut nikah muda. Malu nikah muda. Gak bebas. Terlalu terbeban dengan tanggung jawab. Wah wah. Belum belum sudah pelihara ketakutan. Lalu kapan kita isi nikmatnya pernikahan dengan hal yang indah indah? Mumpung masih muda. Menikah adalah resep paling manjur buat karir yang baik dan hidup yang tenang lapang. Takut kebebasan akan terpasung? Wah bebas juga bukan berarti bablas. Mengikat juga bukan memasung. Dunia yang damai adalah dunia yang dipenuhi dengan order / tatanan / aturan yang baik. Bukan yang bebas lepas dan cuma ada benturan hak. Dunia dua pribadi juga pastinya serupa. Kebayang menantangnya gak sih berbagi hak dan kewajiban bareng2? sambil ngerasain manis madunya bareng2 juga. Dan gak lupa kopi kopi pahitnya sekalian. Semua bareng2. sharing. Soulmate.
Soulmate. Lebih merupakan satu kesatuan yang terdiri dari perbedaan2 terus menjadi satu fungsi kayaknya. Pengartian ini lebih cocok buat gue. Layaknya lubang kunci dan anak kunci. Satu kesatuan dari dua perbedaan yang mempunyai fungsi. Dan gak bakal cocok bila diganti dengan kunci lain.
Soulmate. Gak cuma berhenti sampai di indahnya tatap2an. Ngomong yang hampir berbarengan dan punya benda2 yang sama. Tapi jadi soulmate beneran kalo udah beneran jadi satu dalam ikatan tak terpisahkan. Di-create-lah itu kebersamaan. Tidak muncul sendiri. Saling sabar terima betapa bedanya diri kita ama orang yang lain itu. Saling terima dengan terbuka perbedaan itu.
Dan berhati hatilah terhadap diri sendiri. Diri sendiri adalah musuh terbesar dalam hal pe-label-an ini. Gak bisa salahin orang lain. Ambil kaca sebentar. Merenung. Asik juga kayaknya. Cari apa yang dipingin dalam hidup. Siapa dalam hidup. Dan bertindak.
Buat yang kurang kerjaan baca ini dan udah punya pacar atau soulmate2an, ‘Hayo bertindak wujudkan itu orang yang dirasa erat di hati jadi benar2 teman satu tempel diparuh hidup kita nanti!’
Buat yang lebih kurang kerjaan nulis beginian, padahal barusan masih maen NFS hehehe, ‘Hayo bertindak cari soulmate-mu sendiri. Jangan cuma duduk di situ dan nulis nulis. Karena insyaAllah pasti dikasih jalan ama Sang Maha Pembuat Soulmate hehehehe.’
So, siap menikah dan wujudkan soulmate-mu sendiri?
**penulis adalah orang yang tadinya tidak begitu suka menulis dan belum begitu lama bergelut di bidang Ilmu Kesendirian, Soulmate dan Misteri Hujan Siang Siang. Berminat mendalami, mengacaukan atau mengobrak abrik perguruan Kesendiriannya itu? Lampirkan form registrasi anda. Pengirim pertama akan mendapat bingkisan menarik. Kalo enggak salah itu juga.